Selasa, 17 November 2009

DAMAINYA LAUT DENGAN PANTAI PANGANDARAN

















































Pangandaran: Berdamai dengan Laut

18-03-2008 · 5 Pesan
Reklamasi di Pantai Timur. Foto oleh: Ratih Kumala.
Selama lebih dari satu minggu kemarin (9-17 Maret 2008) saya dan istri menghilang dari Jakarta. Salah satunya kami pergi ke Pangandaran. Setelah bencana tsunami hampir dua tahun lalu, saya sudah beberapa kali pulang ke sana. Tapi baru kemarin saya memiliki waktu luang untuk berjalan-jalan kembali sepanjang pantai.
Syukurlah, denyut kehidupan kota itu sudah tampak seperti sediakala, meskipun belum bisa dikatakan pulih sepenuhnya. Minggu itu badai membuat angin laut sangat kencang dan permukaan ombak lebih tinggi dari biasanya. Tapi masih banyak anak-anak yang bermain bola di pasir, serta orang-orang yang bermain selancar di permukaan ombak. Mereka tengah mencoba mengikis trauma, merelakan yang mati dan hilang, dan berdamai dengan laut.
Tunas-tunas ketapang, program reboisasi sepanjang pantai. Foto oleh: Ratih Kumala.
17 Juli 2006 menjelang malam, saya sedang berdiri di depan bioskop Megaria dengan satu tiket masuk. Karena istri saya sedang pergi ke Solo, saya punya kebiasaan menghabiskan waktu dengan menonton seorang diri. Saya lupa film apa yang hendak saya lihat malam itu, sebab tiket masuk tak pernah saya pergunakan.
Saat itu telepon tiba-tiba berdering. Dari Wawa, adik saya. Tak jelas apa yang ia katakan. Saya hanya mendengar suara tangisannya, bercampur teriakan-teriakan, dan napasnya yang ngos-ngosan. Setelah beberapa saat mencoba menenangkannya dan bertanya apa yang terjadi, baru saya tahu, Wawa menelepon sambil berlari menghindari air laut yang tiba-tiba menghantam kota kecil kami, Pangandaran.
Di kota itu, ayah dan ibu saya, serta adik-adik tinggal. Wawa sebenarnya tinggal di Yogya, tapi malam itu ia sedang berlibur di Pangandaran. 17 Juli 2006 akan selalu dikenang penduduk kota tersebut sebagai hari ketika bencana tsunami menghantam. Tak hanya bangunan-bangunan sepanjang pantai yang rata dengan tanah: lebih dari 300 orang meninggal, banyak diantaranya dinyatakan hilang.
Malam itu, saya memutuskan untuk berangkat ke Pangandaran. Meskipun istri saya dan beberapa teman mengingatkan betapa berbahayanya datang langsung ke tempat itu, saya memutuskan untuk tetap pergi ke sana. Saya meyakinkan mereka bahwa saya mengenal dengan baik kota Pangandaran. Apa pun yang terjadi, saya ingin tahu secara langsung keadaan keluarga saya. Terutama setelah mengetahui, dalam pelarian dan pengungsian tersebut, seluruh anggota keluarga saya tercerai-berai di tempat-tempat penampungan yang berbeda.
Saya sudah sampai di Pangandaran pukul 2 dinihari. Bersama seorang ayah yang mengaku mendapat kabar anaknya menjadi korban tsunami (selamat tapi dirawat di rumah sakit), barangkali kami merupakan dua orang luar kota yang pertama kali datang ke kota itu. Baru menjelang pagi sukarelawan, bantuan, tentara, dan wartawan memenuhi alun-alun kecil di depan masjid agung. Itu sejauh yang saya lihat.
Air laut hanya mencapai bagian belakang bangunan SMPN 1 Pangandaran, sekolah saya waktu SMP. Itu artinya, rumah orang tua saya yang hanya terpisahkan oleh satu lapangan bola dengan SMP tersebut, selamat. Ketika saya sampai di rumah, suasana sangat sepi. Semua rumah nyaris tak berpenghuni. Tapi akhirnya saya menemukan ayah saya masih berada di rumah.

Saya tak bisa menjelaskan dengan tepat seperti apa ayah saya. Saya sangsi apakah ia seorang yang realistis atau apatis. Ia bilang, tak yakin tsunami akan mencapai rumah kami, karena itu sementara ibu dan adik-adik saya, serta para tetangga berlarian menyelamatkan diri, ia memilih untuk tetap tinggal di rumah. Konon ia malah sempat menggiring ayam-ayam kampung peliharaannya ke dalam kandang. Karena ayah tidak mau mengungsi, akhirnya paman saya, adik ayah yang paling kecil, juga tidak mengungsi untuk menemaninya. Dini hari itu, hanya saya, ayah dan paman yang tinggal di rumah. Di sekeliling kami, hanya rumah-rumah yang kosong. Hanya sesekali muncul patroli, dan suara anjing melolong.

Paman mengingatkan kami, jika terjadi gempa dan tsunami susulan, cara terbaik adalah lari ke loteng rumah. Itu juga yang ada di dalam pikiran saya. Rumah kami terdiri dari dua lantai, dan saya yakin, jika terjadi gelombang susulan yang lebih kuat, lantai dua rumah kami cukup aman. Tinggi permukaan tanah rumah kami sekitar 6 atau 7 meter dari permukaan laut. Jika ada gelombang yang lebih tinggi dari itu, saya percaya, alternatif lain hampir tidak ada.

Karena saya juga percaya gempa dan tsunami susulan tak pernah lebih besar dari yang sebelumnya (saya harus mengoreksi keyakinan yang barangkali suatu ketika berakibat buruk ini), subuh itu saya memutuskan tidur di bawah. Karena lelah oleh perjalanan dari Jakarta ke Pangandaran (yang mencapai sekitar 8 jam perjalanan), saya tertidur di sofa. Ayah juga melanjutkan tidurnya di kamar. Hanya paman yang agak panik dan memutuskan untuk tidak tidur, berjaga-jaga.

Baru setelah pagi, dengan bantuan telepon genggam, saya berhasil menghubungi ibu dan adik-adik di pengungsian. Semuanya selamat. Satu-satunya kerugian kami adalah: usaha keluarga bisa dikatakan bangkrut, sebab usaha kami berhubungan dengan industri pariwisata yang hancur total di sepanjang pantai.
Kini, adik pertama saya, Remi, membangun kembali usaha keluarga yang porakporanda bersamaan dengan tsunami. Remi yang pada dasarnya sarjana peternakan dari Universitas Gadjah Mada, berhenti bekerja dari perusahaan peternakan untuk menekuni bisnis pakaian jadi, khususnya membuat pakaian suvenir — yang merupakan usaha ayah saya sejak lama. Harapan belum pudar: toko-toko sepanjang pantai mulai dibangun lagi, termasuk toko keluarga, dan para pelancong mulai berdatangan kembali.

Harapan juga terlihat di sepanjang pantai. Kini di pantai timur, tengah dibangun beton penangkal gelombang, sekaligus mereklamasi bagian yang sudah telanjur erosi oleh gelombang. Di sepanjang pantai barat — yang diterjang tsunami dan menelan korban paling banyak — kini penuh ditanami pohon ketapang. Dua atau tiga tahun yang akan datang, pohon-pohon itu pasti sudah cukup tinggi, paling tidak untuk menahan sementara terjangan angin badai dan gelombang besar. Selain itu dibangun pagar beton sampai ujung kota, yang sekaligus berfungsi sebagai pot tanaman dan tempat para pengunjung bisa sekadar duduk-duduk.

Sekali lagi, trauma masih ada. Penduduk di sekitar pantai kini jauh lebih mudah merasa panik hanya karena gelombang besar menghantam jalan raya di pinggir pasir. Padahal mereka tahu, gelombang seperti itu sudah sering terjadi, terutama di sekitar bulan purnama. Meskipun begitu, tidak saya lihat keputus-asaan. Seperti adik saya yang berani menggeluti usaha yang bukan bidangnya, penduduk kota itu juga tetap bertahan di sana — meskipun banyak hal telah hilang dari mereka: rumah, toko, bahkan mungkin sanak-keluarga.

Di setiap perempatan jalan kini terlihat rambu-rambu penujuk jalur evakuasi. Juga petunjuk darurat apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana. Saya hanya berharap sikap berjaga-jaga seperti ini, rambut-rambu tersebut, dan semua upaya (yang terlambat karena baru dibuat pascabencana), akan tetap ada hingga lima puluh, seratus tahun, bahkan selamanya.

Kita tak mungkin menyalahkan laut, juga gempa yang akan selalu terjadi di dasar sana. Tapi kita bisa berdamai dengannya, hidup berdampingan di sisinya. Bagi saya pribadi, tak mungkin rasanya mengindari laut. Saya telanjur mencintai laut, sejak ayah membawa kami pindah ke Pangandaran ketika saya masih berumur sepuluh tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar